Selasa, 22 November 2011

Entah, perasaan apa ini sesungguhnya


                Tak tahu perasaan apa ini sesungguhnya, dan dari mana datangnya. Setelah membaca tulisan di blog teman yang kini sudah menjauh, yang mengungkapkan perasaannya. Terisak membacanya. Cukup tahu dan memahami saja apa yang dia rasa. Aku pun juga tak bisa berbuat apapun untuknya. Tak tahu harus bagaimana, tak tahu dimana  letak keburukan saya “di mata” nya. Masalah yang menurut saya sepele, karena bagi saya itu adalah berdebatan anak kecil, dimana ada perselisihan ego dan rasa saling iri diantara kami, dan menurut saya, titik kesalahan kami adalah tidak adanya komunikasi, tidak ada niat untuk saling menjelaskan apa yang dia atau saya rasa. Rasa sakitnya hanya dipendam dalam hati, dan itu tak tersampaikan. Berbeda dengan saya, saya akan mengomel lepas tentang perasaan saya, apa yang saya rasa, tentang rasa sakit saya kepada siapapun orang yang saya percaya. Pernah saya minta maaf dan menjelaskan perasaan saya dan kesakitan saya tentangnya. Namun apa jawabnya, dia menjawab “aku nggak butuh maaf, aku juga nggak mau minta maaf”. Kata-kata yang begitu menusuk dan memilukan hati. Betapa tidak, saya ingin mendekapnya kembali, namun ia menghempaskan dirinya kelautan hatinya sendiri. Seolah hanya kau saja yang sakit, dan tak menyadari apa yang telah kau lontarkan. Egois memang.. tapi menurut saya, dan apa yang telah diajarkan ibu saya. Salah atau tidak salah harus minta maaf, karena itu akan mempermudah jalan bagi kita sendiri. Entah bagaimanapun tanggapan orang lain atas permintaan maaf kita.
Tapi setidaknya kejadian itu memberi dampak positif bagi saya. Saya lebih bisa membaca orang lain, mana yang benar-benar teman lahir batin. Biarlah teman saya itu bersinar dengan warnanya sendiri. Ibarat pelangi, hidup ini tak akan indah jika hanya satu warna. Merasa mendapat sesuatu yang lebih ketika saya kehilangan satu persatu barang maupun orang yang kusayang. Setelah itu Tuhan bertubi-tubi menghujani berkah dan segala kebaikanya padaku. Aku merasa jadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Dari kejadian itu pula, aku sepenuhnya menyerahkan segala curahan rasa hanya padaku dan Tuhanku. Cukup kita berdua yang tahu sebenar-benarnya perasaanku. Karena sebaik-baiknya manusia pasti akan tetap salah penafsiran, begitupun aku. Dan inilah aku, yang semakin membatasi dan menutup diri. Aku pasti butuh waktu untuk sendiri dalam sehari, walau itu Cuma satu menit. Dan akupun sudah tidak peduli bagaimana orang lain berfikir atau memandang saya. Aku tidak ingin menjadi apa yang orang lain inginkan. Mungkin cuek itu lebih baik. dan menjadi orang baik dan lebih baik itu, pasti, harus. Karena orang baik itu sudah langka, maka saya akan tetap jadi baik J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar